Reformasi, Represi, Refleksi

W. S. Faraditha
3 min readJun 3, 2020

--

Reformasi sudah menginjak umur 22 tahun. Tahun 1998 adalah tahun yang menjadi saksi atas perjuangan demokrasi Indonesia, titik penanda tercapainya Reformasi. Perjuangan di belakang Reformasi sebagai peristiwa bersejarah tidak seharusnya dilupakan. Perjuangan-perjuangan para pahlawan reformasi yang berguguran maupun yang masih hidup sampai sekarang bukanlah suatu perjalanan yang mudah untuk dijalani dan dilewati. Tindakan mengancam nyawa yang diperintahkan oleh tikus-tikus oligarki pun berdatangan dengan tujuan membungkam mereka yang berada di jalan menyuarakan suaranya dengan selantang-lantangnya, mereka yang telah berusaha untuk dibungkam bertahun-tahun. Tetapi, berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, bersatunya gerakan akar rumput berhasil melengserkan Presiden Soeharto dari jabatannya.

Dapat didengar bahwa sorak sorai rakyat bergema di berbagai penjuru negeri. Ucapan Hidup rakyat, hidup rakyat, hidup rakyat! bergema dengan kerasnya. Rakyat akhirnya mencapai titik keberhasilan, Soeharto turun takhta. Pemimpin yang tidak pro rakyat itu menyampaikan pidato pengunduran dirinya. What a breath of fresh air.

Reformasi yang dibangga-banggakan dan sorak sorai gembira akan kemenangan rakyat melawan rezim otoriter sepertinya hanya menjadi isapan jempol belaka saat ini. Setelah 22 tahun reformasi berlalu, apa bayaran perjuangan para pejuang reformasi?

Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi seakan-akan makin menunjukkan perlawanannya kepada rakyat. Para pelanggar HAM pada masa reformasi diberi jabatan dalam peemrintahan. Proses pembongkaran dan pengadilan terhadap kasus-kasus HAM bahkan dipersulit prosesnya di meja hijau. Demokrasi yang semakin hari semakin melemah dan jauh dari penerapan demokrasi yang sehat. Dibuktikan dalam lima tahun terakhir, Indeks Demokrasi Indonesia cenderung memburuk, laporan terakhir The Economist Intelligence Unit (2019) menyebutkan indicator kebebasan sipil di Indonesia hanya mendapat nilai 5,5 dan secara Indeks Demokrasi Indonesia hanya mencapai angka 6,48 dalam skala 0–10.

Dalam masa kepemimpinan periode kedua, Presiden Jokowi beserta jajarannya, mengambil keputusan-keputusan yang berlawanan dari keinginan rakyat. Mereka sebagai pemegang mandat publik seakan-akan menganggap bahwa rakyat hanyalah angin lewat saja. Suara rakyat seperti tidak ada artinya bagi Pemerintah. Ditambah keadaan selama pandemi, trias politika di negeri ini terlihat seperti bahu-membahu memanfaatkan situasi yang darurat untuk mengambil keputusan-keputusan yang tidak terlalu ditemukan urgensinya sehingga harus diresmikan secepat mungkin. Mengetahui bahwa rakyat akan “lengah” dam tidak akan punya akses yang leluasa untuk menyatakan protes di tengah merebaknya wabah. Padahal, mereka seharusnya lebih mengurusi kesejahteraan rakyatnya selama situasi yang sulit ini, karena akses kesehatan dan keselamatan rakyat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mutlak. Bukankah reformasi juga memerjuangkan hak asasi manusia agar selalu dijamin dan terpenuhi?

Maka dari itu, demi memperbaiki dan menegakkan demokrasi di Indonesia, Negara harus berkomitmen penuh untuk merawat, menjaga, dan menghormati Hak Asasi Manusia. Karena ini, civil society harus menjadi counter-hegemony atas kekuatan yang dipegang oligarki. Agar mendorong public participation sehingga terselenggaranya common good.

Segala hal yang terjadi pada saat ini seharusnya bisa menjadi simbol refleksi bagi pemerintah, untuk menjaga reformasi dan hak asasi, menegakkan demokrasi yang sehat, dan membawa keadilan bagi seluruh rakyat.

Hidup Buruh! Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Miskin Kota!

P.S. The prior title of this article when this got featured was Republik, Refleksi, Reformasi. But, I decided to revise it because I just found a more accurate title to represent the content of this article well. I attached the whole magazine so you can check out more works!

The article was featured on an independently established online magazine which publishes the collective and creative works of FISIP students who submitted their works by email, Tembok Jingga (Vol. #3) under the Ministry of Politics and Strategic Studies, Faculty of Social and Political Sciences Executive Student Organisation (Kabinet Berani) of Airlangga University.

I attached the whole magazine so you can check out more, hope this article finds you well. Thanks for reading.

--

--

W. S. Faraditha

Currently studying political science. I find solace in writing things that excite me.